AKTUALBORNEO.COM – Pada rapat koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) se Kaltim 2020 Kamis (9/6) melalui sistem daring atau virtual zoom cloud. Khususnya Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Kecamatan Bengalon menjadi wilayah tertinggi kasus perkawinan anak.
Bahkan jika ditotalkan dari 18 kecamatan se Kabupaten Kutim ada 386 perkawinan anak. Sangatta Utara 35 anak, Sangatta Selatan 25 anak, Teluk Pandan 23 anak, Rantau Pulung 28 anak, Bengalon 56 anak, Kaliorang 17, Sangkulirang 21 anak, Karangan 8 anak, Sandaran 21 anak.
Muara Wahau 21 anak, Muara Ancalong 25 anak, Muara Bengkal 26 anak, Long Mesangat 11 anak, Batu Ampar 4 anak, Kongbeng 40 anak, Busang 5 anak, dan Telen 10 anak.
Padahal sebagaimana diketahui berdasarkan Undang-Undang Perkawinan saat ini yaitu 16 tahun untuk perempuan, sedangkan 19 tahun untuk usia laki-laki.
Ada banyak alasan bahwa perkawinan di bawah umur merupakan permasalahan yang serius, dan perlu diatasi dan dicegah guna menghindari dampak buruk yang berkepanjangan.
Selain melanggar hukum, jika pernikahan terjadi akan ada banyak hak yang terenggut sebagai anak. Hak-hak yang terenggut serasa lebih kompleks ke depannya.
Seperti dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kutim Aisyah ada delapan faktor penyebab perkawinan anak terjadi.
Diantaranya, adat budaya, dorongan orang tua, faktor ekonomi, perkawinan anak, agar terhindar dari zina, hamil diluar nikah, penggunaan internet yang tidak sehat dikalangan remaja, ketidak setaraan gender, dan pendidikan yang rendah.
“Itu faktor utama yang sering terjadi sehingga perkawinan anak terus meningkat. Prevalensi atau angka kejadian pernikahan anak lebih banyak terjadi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan,” jelasnya.
Pencegahannya perlunya advokasi, edukasi juga sosialisasi kepada orang tua dan anak-anak remaja yang perlu terus dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak tertentu agar angka perkawinan anak dapat menurun.
“Antisipasi itu harus dbangun melalui keluarga dan pendidikan yang terencana dengan baik. Sebab, jangan sampai anak menjadi korban pendidikan yang kurang tepat oleh keluarga,” tutupnya. (F)