Eks Hakim Konstitusi: Konstitusionalitas Sistem Pemilu Bukan Wilayah MK

AKTUALBORNEO.COM – Mantan hakim konstitusi dua periode, I Dewa Gede Palguna, menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) semestinya tidak menerima permohonan perkara terkait konstitusionalitas sistem pemilu tertentu. Menurutnya, pandangan itu merupakan pandangannya dan para hakim konstitusi periode 2003-2008, sebelum majelis hakim konstitusi era kepemimpinan Mahfud MD pada 2008-2013 justru memutus perkara berkaitan sistem pemilu.

“Sebelum putusan (era) Pak Mahfud, kami hakim konstitusi berpandangan bahwa persoalan sistem pemilu adalah persoalan legal policy pembentuk undang-undang. Jadi MK tidak masuk ke wilayah itu, mana (sistem pemilu) yang konstitusional dan tidak,” kata Palguna ketika dihubungi, Kamis (1/6/2023). “Tapi, kalau mana yang dianggap lebih demokratis dan tidak, itu mungkin. Tapi tidak serta-merta (sistem pemilu) yang satu konstitusional dan yang lain tidak,” ujarnya lagi.

Sebelumnya, para pegiat pemilu mengaku khawatir jika gugatan terkait pasal tentang pemilu legislatif (pileg) sistem proporsional daftar calon terbuka di Undang-Undang (UU) Pemilu dikabulkan majelis hakim konstitusi. Mereka khawatir sistem tersebut dikatakan inkonstitusional dan tak bisa lagi diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, sistem pemilu merupakan sebuah opsi, yang penerapannya bergantung pada kecocokan iklim politik, sosial, dan budaya negara tersebut.

Palguna juga mengamini pendapat itu. Ia menjelaskan bahwa konstitusi tidak secara spesifik mengatur sistem pemilu. Ia memberi contoh, Pasal 18 UUD 1945 hanya mengatur soal kepala daerah dipilih secara demokratis. Apakah indikator demokratis itu diterjemahkan melalui pilkada langsung atau tak langsung melalui mekanisme perwakilan, itu merupakan ranah pembentuk undang-undang.

Oleh karenanya, menurut Palguna, terkait pasal tentang pemilu legislatif sistem proporsional daftar calon terbuka yang bakal segera diputus MK, Mahkamah harus secara terang-benderang menjelaskan bahwa putusan itu tak serta-merta membuat sistem pemilu tertentu inkonstitusional.

“Harus disebutkan dalam pertimbangan –  pertimbangannya,” Kara Palguna.

Sebelumnya diberitakan, majelis hakim konstitusi akan melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menyusun putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 atau gugatan terkait pemilu legislatif sistem proporsional daftar calon terbuka yang saat ini diterapkan Indonesia.

Sidang pemeriksaan sudah rampung digelar pada Selasa pekan lalu.

RPH berlangsung secara tertutup di lantai 16 gedung MK dan hanya diikuti oleh sembilan hakim konstitusi dan beberapa pegawai yang disumpah untuk menjaga kerahasian putusan. Masing-masing hakim konstitusi akan membuat legal opinion sebelum tiba pada putusan bersama, meskipun hakim yang berbeda pendapat bisa menyampaikan dissenting opinion dalam putusan tersebut.

Setelah putusan dihasilkan lewat RPH, panitera akan mengagendakan sidang pembacaan putusan. Juru Bicara MK, Fajar Laksono menjamin bahwa MK akan mengumumkan jadwal pembacaan putusan tiga hari sebelumnya. Namun, MK tak bisa memastikan kapan RPH berlangsung dan kapan sidang pembacaan putusan digelar. Terlebih, undang-undang memang tidak memberi batasan waktu untuk itu.

Sebelumnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa perkara ini akan segera diputus. “Kami akan segera menyelesaikan permohonan ini. Jadi, jangan dituduh juga nanti MK menunda segala macam, begitu,” ujar Saldi pada Selasa lalu.

Sebagai informasi, gugatan nomor 114/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Di Senayan, Sejauh ini,  8 dari 9 Partai Politik Parlemen menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap kembalinya sistem Pileg Proporsional Tertutup.

Hanya PDI-P yang secara terbuka menyatakan dukungannya untuk kembali ke sistem Proporsional Tertutup.

Eks Hakim Konstitusi: Konstitusionalitas Sistem Pemilu Bukan Wilayah MK

Sumber : Kompas

Pos terkait