Harapan Jimmi untuk Ketua DPRD Kutim: Aktualisasi Etika Legaslatif

AKTUALBORNEO.COM – Anggota DPRD Kutai Timur (Kutim), Jimmi ST, memberikan komentar dan harapan khusus kepada Ketua DPRD Kutim yang baru, Joni, S.Sos. Menurutnya, sebagai pimpinan baru di tengah peristiwa yang telah terjadi dilingkungan DPRD Kutim, masyarakat memiliki ekspektasi tinggi.

Politisi Partai Keadilan Sejaterah (PKS) ini mengenang kasus yang menjerat Bupati Kutim nonaktif dan mantan Ketua DPRD Kutim.

“Harapan kita jauhlah dari hal-hal yang negatif seperti kejadian yang terjadi kemarin itu. Supaya betul-betul berbuat untuk rakyat Kutai Timur,” ujar Jimmi, Kamis (5/11/2020).

Berkaitan dengan pristiwa yang dimaksdunya tersebut, Jimmi menjabarkan mengenai etika yang berkaitan dalam fungsi, tugas dan wewengan DPRD. Terkait fungsi pengawasan, ia mengatakan, agar bisa lebih ditingkatkan lagi. Demikian halnya dengan transparansi yang ia harapkan bisa lebih digalakkan dengan kepimipinan baru tersebut.

“Peran ketua baru ini mudahan-mudahan bisa mengaktualisasikan itu dengan sebaik-baik mungkin,” pungkasnya.

Apa Itu Etika Legislatif?

Bicara soal etika legislatif, Dennis F Thompson dalam Political Ethics and Public Office yang dialihbahasakan dengan Etika Politik Pejabat Negara (2002) menulis, setidak-tidaknya, ada tiga pendekatan untuk mengetahui etika legislatif anggota dewan. pertama, etika minimalis. Etika ini memerintahkan diharamkannya beberapa tindakan yang buruk, semisal korupsi, dengan membuat aturan internal objektif yang berlaku bagi anggota dewan. Contoh penerapan etika minimalis di tubuh dewan adalah dibentuknya aturan tata tertib dan kode etik yang diterbitkan di internal parlemen serta dibentuknya sebuah badan kehormatan.

Kedua, etika fungsionalis. Thompson mencatat, etika fungsionalis menawarkan basis fungsional bagi para legislator. Etika tersebut mendefinisikan tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi mereka sebagai wakil rakyat. Anggota dewan mesti paham kenapa mereka dipilih dan untuk apa mereka duduk di kursi dewan perwakilan. RA Kresman, dokter ahli kejiwaan (2009), misalnya bertutur, dalam pesta demokrasi yang baru saja digelar kala itu, potensi calon legislator maupun legislator yang mengalami gangguan jiwa lebih besar di banding periode sebelumnya. Penyebabnya, mereka masih mempersepsikan menjadi anggota legislatif sebagai suatu pekerjaan dan mata pencaharian. Anggota dewan belum mampu menempatkan diri bahwa menjadi legislator adalah amanah, bukan pekerjaan. Jika ditempatkan sebagai pekerjaan, tentunya mereka akan bekerja kepada siapa saja yang mampu bayar tinggi. Akibatnya, mudah sekali uang haram korupsi yang berupa ”sumbangan”, ”bantuan”, atau apa pun namanya, masuk ke gedung dewan.

Ketiga, etika rasionalis. Fondasi rasional menyandarkan para legislator, setidaknya, harus bertugas pada prinsip-prinsip hakiki politik, seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama (bonum commune). Berdasarkan pendekatan etika rasionalis, maka anggota legislatif diharamkan bertindak memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama kepentingan pribadi, golongan, maupun partainya. Saat anggota dewan telah duduk di kursi parlemen, maka tuan mereka bukan lagi partai, bukan pula petinggi partai, melainkan rakyat dan konstituen.

Atas tiga pendekatan etika legislatif legislator tersebut, maka hal-hal yang negatif wajib dikoreksi. Hal ini penting dilakukan untuk tetap menjaga sikap etis anggota dewan. Meminimalisasi segala perilaku dan kebijakan yang tidak familiar di mata masyarakat. (Daniel/Fitrah/Ab).

Pos terkait