Pilkada 2020 di Tengah Pandemi, Bagaimana Partisipasi Politik Perempuan?

Aji Mirni Mawarni, Anggota MPR RI / Komite II DPD RI (Dok Pribadi Aji Mirni Mawarni)

KURANG dari tiga pekan, pemungutan dan penghitungan suara Pilkada 2020 akan berjalan di masa pandemi Covid-19. Jauh hari, Bawaslu RI telah mengingatkan bahwa tingkat kerawanan ataupun pelanggaran di TPS berpotensi bertambah.

Dalam situasi non-pandemi, ada sejumlah potensi pelanggaran yang biasa terjadi di TPS. Mulai penggunaan suara lebih dari satu kali, pemilih berdokumen palsu, ASN menjadi saksi, pemilih tidak terdaftar, money politics, hingga keberpihakan petugas.

Namun, di masa pandemi, potensi pelanggaran lebih banyak dan kompleks. Pastinya, semua potensi pelanggaran di masa non-pandemi berpeluang terjadi. Bahkan ancaman money politics meningkat tajam. Pandemi plus resesi membuat “tuntutan” money politics meningkat, karena banyaknya warga yang tidak bekerja dan mengalami kesulitan ekonomi.

Saat pandemi, ada potensi penyelenggara lalai dalam menerapkan standar protokol kesehatan, pemilih menolak menggunakan masker, hingga potensi kehilangan hak suara karena menjalani karantina. Potensi lain; desain dan peralatan protokol kesehatan di TPS tak sesuai standar, pemilih tidak tertib dan berkerumun, maupun terjadi kerumunan saat penghitungan suara

Lantas, bagaimana dengan partisipasi perempuan sebagai pemilih dan kandidat di Pilkada 2020?

Survei KPPA bersama PBB, pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan, serta memperparah kerentanan ekonomi perempuan. Kondisi ini berpotensi menurunkan partisipasi politik perempuan.

Kompleksitas persoalan yang dialami bisa membuat perempuan kelelahan dan tidak peduli dengan proses Pilkada. Ketidakpedulian itu bisa merembet pada penyalahgunaan suara oleh oknum-oknum tertentu. Oknum bisa memanfaatkan suara perempuan dengan memanipulasi perolehan suara di TPS.

Penyampaian informasi terkait Pilkada di tengah pandemi kepada perempuan harus lebih intens dilakukan. Agar perempuan mengetahui visi dan program paslon yang mengakomodir kepentingan perempuan dan memilihnya.

Pada sisi lain, pandemi juga membuat warga enggan mengikuti dinamika pilkada. Alih-alih mendengar visi-misi, atau keberpihakan terhadap perempuan, sebagian kalangan justru apatis. Potensi golput melonjak. Paling rentan di wilayah dengan calon tunggal; bisa jadi tidak ada keinginan untuk memilih.

Partisipasi calon kepala daerah perempuan dalam Pilkada 2020 masih sangat rendah; hanya 10,6%, naik tipis dari Pilkada 2018 (8,85%). Perempuan menghadapi keterbatasan modal, keterbatasan akses informasi, hingga lemahnya support dari partai politik pengusung karena alasan situasi pandemi.

Belum ada aturan yang mengikat terkait keterlibatan perempuan dalam Pilkada. Pada Pileg, sudah ada afirmasi lewat UU yang mengharuskan 30% caleg perempuan. Sedangkan pada Pilkada, afirmasi caleg diserahkan ke parpol. Model ini berat bagi perempuan. Jika tidak punya modal banyak, kecil peluang dilirik oleh parpol.

Dari 19 paslon Pilkada wilayah Kaltim, hanya ada tiga figur perempuan. Dalam perjalanannya kemudian bertambah menjadi lima figur. Dua calon kepala daerah perempuan yang belakangan tampil, menggantikan posisi suami yang wafat akibat Covid-19, yaitu di Berau (Muharram oleh Sri Juniarsih) dan Bontang (Adi Darma oleh Najirah).

Masalah utama keterwakilan perempuan ada pada sisi “supply dan demand”. Ada partai yang kekurangan SDM perempuan. Ada juga perempuan yang sudah berpolitik, tapi tidak terpilih. Banyak pula perempuan yang hebat dan mumpuni, namun belum diakui secara luas oleh publik.

Untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, diperlukan langkah-langkah komprehensif; dari sisi peraturan, penjaringan, dan pendidikan. (*)

Catatan Aji Mirni Mawarni, Anggota DPD RI

Pos terkait